Via Dolorosa
Pengantar Kuratorial
Di masa para pematung di sekitarnya berupaya mencari rujukan,
pengucapan dan tema-tema baru yang terpenggal-penggal dalam putting-beliung
seni kontemporer, patung-patung Dolorosa menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Patung-patungnya
seluruhnya tampil utuh, figurative, dengan pemiuhan secukupnya sehingga
menambahkan nilai ekspresif pada ketunggalan tema dan kebersahajaan bentuknya.
Kalau kita cermat mengamati kecenderungan pematung umumnya – yang bersemangat
menggubah patung berukuran besar, juga kegemaran kita akan kebesaran monument
sejak lama – skala rata-rata patung mungil Dolorosa pun terasa mengherankan.
Dalam sifat ekspresif dan kecenderungan pada sosok terpiuh,
patung Dolorosa dapat mengingatkan kita akan semangat pematung modern kita di
masa dini perkembangan seni ini. Segera kita terkenang akan patung potret diri
pelukis Affandi, umpamanya – dari tahun empat puluhan – yang dibuat dari tanah
liat dengan teknik pijatan yang merekam greget emosi seniman yang kuat. Namun
Dolorosa tidak menampilkan sebuah potret, yang dapat dikenali sebagai suatu
ciri individu tertentu. Yang ditampilkan melalui pijatan jemarinya yang
ekspresif adalah sosok orang-orang biasa, kesan rakyat jelata; bukan wajah
seniman yang unik – seolah tak tergantikan – seraya menitipkan jiwa romantic
kepada penontonnya.
Pada masa lalu sampai hari ini, sejenis karya seni publik
seperti patung atau monumen “pahlawan” adalah satu cara mendekatkan diri secara
langsung untuk mengenali patung. Tentunya banyak orang akan keberatan jika
sosok perempuan muram pada patung Dolorosa tergolong “pahlawan”. Cerita yang
lahir melalui karya patungnya adalah cerita biasa di garis “perjuangan” paling
belakang yang terlalu kecil untuk diperhatikan: perempuan kerempeng yang geram
mengangkat ujung roknya, raut wajah bunda yang melongo atau penuh passi
memangku anak mati.
Patung Dolorosa tak memanggul senjata atau memupus rantai
memekikkan sesuatu untuk menghembuskan bara panas di sekelilingnya. Sosok
perempuan-ibu dalam patungnya adalah symbol dan fungsi keteduhan naluriah:
mendekap sang anak, menghisapnya dalam-dalam ke arah susunya, saling merengkuh
atau menopang, atau mengantar kepergian. Jika tampak perempuan menenteng wajan
kosong, mengepalkan tangan meninji udara hampa, mereka tidak menyodok namun
menghirup seraya menagih janji kita sendiri. Ada kalanya kita bersua dengan
sosok perempuan kurus bunting yang sedikit goyah atau imago pietatis dari perempuan yang merawat mayat setipis papan di
haribaan pada patung “Pieta” (2002).
Begitulah cara Dolorosa menggambarkan beban yang mustahil dapat dibagi, harus
ditanggung oleh manusia sendirian jika saatnya tiba. Melalui kekosongan tubuh
serta kehampaan semacam itu, anehnya kita merasakan getaran keperkasaan yang
tidak semata fisikal namun gugahan kemanusiaan yang lebih universal.
Jika patung-kelompok Dolorosa melahirkan serangkaian sosok,
itu mirip rantai manusia yang menyerahkan tubuh mereka yang gepeng sebagai
ambang eksistensi atau batas akhir. Penerobosan seakan hanya akan menemukan
kesia-siaan atau kehampaan belaka. Beberapa patungnya yang sudah kita lihat
dalam pameran tunggalnya di Galeri Nasional, Jakarta (2001) mengesankan kita
akan pokok serta pengucapan seperti itu: para perempuan dengan postur jangkung
terpiuh, gelung permanen sekepal di kepala, dalam adegan sendirian yang
dramatis atau merapatkan tubuh, saling menguatkan dengan genggaman tangan di
mana tersembunyi rahasia kekuatan suatu ikrar.
Dalam susunan serupa, kelompok tujuh sosok patungnya (suatu
angka yang dianggap genting olehnya) tidak lagi berdiri tetapi jongkok
berhimpun seakan membetot sesuatu. Satu adegan dalam patung kelompok semacam
ini tentunya sangat menyayat hati: yang enam tenggelam dalam kelimun menghadapi
yang tunggal, yakni jasad yang terbujur dan terbagi rata di pangkuan, seakan
kepiluan dan raungan masih berdaya menjeritkan kambali -tak cuma nama- tapi ruh si mati. Itulah
patung “The Grief” (2000) yang akan
sering diingat orang.
Tentu dengan karya semacam itu Dolorosa tidak membuat suatu
potret pahlawan yang kekal sebagai monument ingatan kolektif kita yang telah
dibekukan. Siapa kenal sosok perempuan bunting dalam patungnya, sosok yang
membujur kaku-mati dalam pangkuan ibu-ibu, atau tubuh kerempeng perempuan yang
berkibar seperti orang mengenal baik-baik wajah dan sosok Jendral Sudirman
dalam baju jas tebal itu, misalnya? “Pahlawan” Dolorosa tampaknya dilahirkan
dari lingkungannya sendiri, cukup ditangisi kaum atau tetangga mereka di kanan
kiri. Orang-orang yang berhimpun dalam persekutuan dan menghayati tapal-tapal
hidup mereka dalam situasi batas semacam itu tentunya akan saling mengukir
wajah dalam ingatan terdalam tanpa kenal nama dan peduli asal-usul mereka.
Bahkan wajah patung Dolorosa tampak serupa: hidung nyaris rata, tebing persegi
pada sepasang pipi, ceruk lebar dan memberat pada mata diikuti pusaran dangkal
yang terkesan mengaduh atau mengeluh.
Jika perempuan ditampilkan oleh Dolorosa sebagai penari atau
pemain musik, tampak adegan dan suasananya lebih mirip ritual ketimbang suatu
tarian yang mendisiplinkan raga. Makna atau perayaannya, kegembiraan lebih
penting ketimbang tariannya sendiri. Tarian seakan mengendurkan sejenak
ruas-ruas tangan yang akan bertaut dan menegang kencang kembali; barangkali
bagian dari prosesi untuk melepas atau pun mengunjungi arwah si mati seraya
menyadari kehadiran raga dalam momen keindahan yang sekejab. Setidaknya kita
beroleh kesan semacam itu pada patung-patung “Dance of Solitude” (2003), ”Dancer”
(2003) dan “Penari Rebana” (2003)
dalam pameran ini.
Rupa yang disajikan patung Dolorosa adalah rupa yang tidak
mulus: senantiasa terbetot oleh suatu daya dari dalam, menegang atau tertarik
kencang dari suatu pusat desakan. Melalui kehadiran barik (tekstur) dikesankan
juga olehnya: di situ, pada beberapa tempat tegangan itu berpusar atau seakan
tarik-menarik, membayangkan lekuk, kerut di mana kekuatan dari luar dan dalam
bertemu. Barik juga memberikan kesan apa yang boleh jadi bersifat tak menentu
di balik selubung kulit atau kibaran kain yang dikenakan.
Barik tampak membantu menegaskan watak dan sifat tertentu
pada patung Dolorosa. Raut mulus, seperti umumnya sebuah potret gadis atau
ibunda tersayang yang terpacak di dalam rumah jauh dari imajinasi Dolorosa
tentang perempuan. Raut patungnya adalah raut ibu yang capai dan degil di
kampung, simbok-simbok di pasar, perempuan pekerja yang telah menghela seluruh
hidupnya. Melanjutkan kecenderungan itu, patung pengungsi atau urban
gelandangan yang seakan terpental di sudut-sudut terjauh dalam pandangan mata
kita di keseharian adalah pokok gubahannya yang baru, seperti “Leaving Home” (2003) dan “Will Find My Way” (2003).
Kita telah menyinggung kecenderungan kemiripan raut wajah
pada patung-patung sosok perempuan Dolorosa Sinaga. Apakah kemiripan pada segi
ini adalah penampilan matrik dari suatu tatanan etis ataukah tertib jasmaniah?
Demikianlah suatu kelompok sosial orang-orang dapat
ditampilkan melalui aspek antropologisnya. Segi ini dianggap bisa tidak
berhubungan dengan sifat-sifat khas dari suatu fisiognomi. Misalnya yang
membuat wajah-wajah tampak mirip satu dengan yang lain bukan karena sama muram
atau sama degilnya. Matrik dari wajah-wajah manusia dalam hal ini tergambar
kembali –misalnya melalui representasi karya seni- bukan dari suatu tatanan
etis (yang bisa terdiri atas suatu komunitas sejumlah intensi), melainkan oleh
tertib jasmaniah melalui factor-faktor identitas darah atau turunan (blood) serta makanan (food). Suatu identitas antropologis akan membentuk suatu wajah
setelah proses sedimentasi yang panjang yang mengakumulasikan semua
karakteristik dan partikularitas kekhasan sosial didalam suatu kelas (usianya,
ukurannya, morfologinya, keriputnya serta urat-uratnya.) 1)
Kita akan cenderung mengatakan bahwa kelompok raut wajah yang
serupa –juga segi-segi kesamaan lain dalam semua kecenderungan anatomis karya
itu- dalam patung-patung Dolorosa adalah kehadiran suatu matrik yang tersusun
dari komunitas intensi yang memang dimaksudkan oleh si senimannya. Yakni suatu
dorongan intensi yang tentu lebih abstrak yang tampaknya dihasratkan mengatasi
identitas antropologisnya namun tidak perlu serta-merta mengabaikannya.
Di dalam dunia atau “kampung” perempuan Dolorosa semacam itu
rupanya hanya ada penyair atau orang suci. Bahkan keduanya terasa tak juga
nyata: kita tahu sang penyair atau orang suci berada dalam penghilangan
misterius tanpa akhir atau pengasingan yang sunyi. Pada pamerannya kali ini
kita mengenalinya sebagai penyair yang gigih menentang suatu rejim dengan
senjata puisi, Wiji Thukul “Satu Kata Saja: Lawan” (2003). Atau sosok Dalai
Lama untuk mengingatkan kehadirannya pada pamerannya tunggal Dolorosa yang
pertama (2001).
Maka kita kini terdorong untuk menjadi lebih dekat dengan
kecenderungan Dolorosa Sinaga: pada patungnya, perempuan tampil lebih nyata mendedahkan
suara dari dunia atau komunitas mereka sendiri. Simpati dan suara perempuan
tampaknya tak bisa lain kecuali direpresentasikan dari dan oleh mereka sendiri.
Dengan ini mungkin kita dapat menggali makna yang lebih khusus pada
patung-patung perempuan Dolorosa Sinaga.
***
Pengalaman sosial yang hadir pada patung Dolorosa adalah
pengalaman sosial di mana perempuan menorehkan kepedihan, menanggungkan
kesendirian dan bergerak dalam sejumlah tekanan. Dalam relung-relung sempit dan
muram itu, kegigihan dan suara mereka tetap tampil.
Siapa dapat mewakili suara sosok perempuan yang terbungkam,
yang tubuhnya melekat separuh pada tembok (“Fear
No Power”, 2003)? Bukankah kita tak tahu apa yang dikatakannya dan apa yang
akan dikatakannya? Tetapi tidakkah sosok perempuan itu menyilangkan sepasang
tangannya kencang-kencang sebagai symbol ringkas yang masih ingin berbicara
sesuatu kepada kita? Apakah ini efek yang harus ditanggungkan dari suatu
keriuhan suara, dari suatu langkah “avante”
tanpa suatu jaminan apapun keberhasilannya? (perhatikan karya “Avante!” (2003). Atau dapatkah kita
mengatakan yang sebaliknya?
Tetapi juga perhatikan kritik Dolorosa terhadap perempuan
dalam “The “Drama” Wanita” (2002) serta Namboru…Namboru” (2003). Lima perempuan
semampai dalam baju-baju yang tampak halus dan tertib gestur yang jelas
dibuat-buat berbaris sisi menyisi. Samakah situasi “drama” pada patung ini
dengan drama yang didedahkan oleh pengungsi atau perempuan yang dibungkam
mulutnya? Kenapa suatu kata yang penuh makna pada “dharma” terpeleset menjadi
“drama” pada patung ini?
Nada kritik yang sama dikenakan lagi terhadap kecenderungan
keseragaman –karena itu kita tidak dapat merasakan subyektifitas yang unik dan
luapan passi pada setiap sosoknya- ditampilkan oleh Dolorosa melalui patung
“Namboru…Namboru” (2003). Giwang besar yang seakan ingin melompat dari
tempatnya serta tas yang tergantung pada setiap lengan memperhalus penampilan
sosok “namboru” (tante).
Di masa kini, karya seni yang dibuat oleh perempuan dianggap
membawa perbedaan. Tetapi perbedaan ini tidak bersifat tunggal dan sekadar
bermakna “berbeda dari…”. Setiap upaya untuk mengisi kekosongan frase itu
dipercayai akan menjadi suatu norma yang menghilangkan kemajemukan
perbedaan-perbedaan itu sendiri.
Politik representasi semacam ini karenanya tidak merujuk kepada suatu esensi
perempuan. Di sana-sini akan selalu muncul paradoks dari mereka sendiri. Kaum
feminin (sebagai lawan kaum maskulin) lebih merupakan suatu posisi bahasa
(lingusitik) dan atau psikis yang dianggap akan memaknai suatu kemungkinan
filosofis perihal pengubahan, perbedaan atau ekses. Makna kehadiran kaum
perempuan –menurut perspektif feminis—akan menandai tempat perbedaan itu di
dalam suatu hirarki yang pengertian-pengertian dominannya adalah pengertian-pengertian
kaum maskulin. Perempuan adalah “other”
(yang lain) , “beyond” (di luar) di
dalam suatu sistem yang tidak dapat didefinisikan. 2)
Dolorosa mengatakan dengan sebuah contoh lain, bagaimana
posisi “di luar” itu dialami oleh perempuan. Karena perempuan merasa takut
berhadapan dengan dunia kebebasan, karenanya tak banyak perempuan yang tertarik
untuk memasuki dunia kesenian. “Kalau kita lihat ada perempuan yang kemudian
menjadi seniman, bagi saya itu sudah sebuah pembebasan. Persoalannya, bagaimana
menggunakan bahasa seni ini untuk pembebasan perempuan?” 3)
Dengan meyakini bahwa suatu praktek artistik dapat menjadi
semacam interupsi semiotik, suatu pembaruan, atau bahkan revolusi yang
membangkitkan negativitas kaum feminin untuk menciptakan kemungkinan baru bagi
makna, maka pada karya seni pun dapat ditemukan selalu suatu “garis tipis
antara fungsionalisasi seni dan estitisasi politik”. 4)
Apakah perspektif pencarian posisi yang serba paradoks –bukan
suatu esensi- juga dapat kita gunakan untuk melihat patung-patung Dolorosa?
Pencarian esensi dapat berarti sebagai pencarian “suatu pengertian yang tajam
perihal identitas perempuan dan kolektivitas mereka” yang tak henti-hentinya
didekonstruksi oleh kaum perempuan sendiri. Tetapi penjelajahan
perbedaan-perbedaan adalah “suatu pengakuan yang lebih pedih tidak hanya
pengakuan yang membelah dan melepaskan kolektivitas perempuan, melainkan juga
pengakuan akan kondisi structural perihal pengertian “perempuan”. 5)
Dolorosa Sinaga tidak membuat sosok-sosok patungnya menantang
kita secara frontal. Ia menghela kepada patung-patungnya ke samping, seakan
tertampik oleh angin, seakan menghindar selalu dari tatapan. Atau kelelahan
yang sangat oleh beban yang mencencang tak terlihat di mana bahu – kapan pun –
tetap akan memikul. Kalau ia membuat sosoknya nyaris tegak, kita melihatnya
seakan tumbuh bergoyang-goyang dengan dua kaki kecil menapak di atas bumi.
Pada karyanya, bukankah terbersit dua “jalan”? Jalan
penderitaan atau “via Dolorosa” yang
harus dilalui dulu oleh perempuan untuk mencapai intensi mereka sendiri dalam
hegemoni dan tekanan pengertian-pengertian. Tetapi jalan itu sekarang ini dapat
kita tapaki melalui pijatan tangan penuh greget via seorang pematung bernama Dolorosa Sinaga.***
Hendro Wiyanto
Kurator Pameran
1. Dipetik dari Roland Barthes, “The
Worls as Object”, dalam Caligram, Essays in New Art History from France (edited
by Norman Bryson, Cambridge University Press, 1988)
2. Uraian sangat ringkas ini berasal
dari “Generations and Geographies in the Visual Arts” (Feminist Readings),
“Preface’, hal. Xii- xx (edited by Griselda Pollock, Routledge, 1996)
3. “Media Seni Untuk Pembebasan
Perempuan”, (“Swara”) “Kompas”, 21 April 2003.
4. “Generations and Geographies in the
Visual Arts”, idem
5. Idem
Via Dolorosa
Curatorial Preface
While other sculptors strive to seek for references,
articulation and novel themes fragmented within the turbulence of contemporary
art, Dolorosa’s sculptures show contradictory tendencies. All sculptures are
presented as a whole, as figures with adequate distortions thus adding
expressive value to the singularity of theme and simplicity of form. If we
thoroughly observe general tendencies among sculptors-those with motivation to
create large sculptures, as well as our fondness for the grandeur of monuments
since long- the average scale of Dolorosa’s petite sculptures seem surprising.
In their expressive nature and the leaning towards distorted
figures. Dolorosa’s sculptures can remind us of the spirit of our modern
sculptor in the early development of this art. We’ll soon be reminiscing about,
i.e. painter Affandi’s self portrait –from the 40s—made of clay with to massage
techniques recording the steaming artist’s emotion. Yet Dolorosa does not
present a portrait, one that can be identified as a character of an individual.
Through the expressive massage of her fingers she presents the commoners, an
imoression of the poor; not a unique artist’s face –as if irreplaceable—while
leaving a romantic soul to her audience.
From the past until today, a type of public art like
sculpture or monument of “heroes” has been one of our ways to bring ourselves
directly to knowing sculptures. Many will certainly object if the gloomy women
of Dolorosa’s sculptures are considered as “heroes”. Stories running from her
sculptures are the usual tales from the back rows of a struggle front, often
tooinsignificant to be noticed: thin women angrily lifting the edge of their
skirts, pondering mothers or wholeheartedly hugging dead child.
Dolorosa sculptures don’t hold arms or break chains shouting
things to boost the sparkles around them. The woman-mother in her sculptures
are the symbol and the function of instinctive shelter: embracing the child,
drawing the child deeply into her breasts, putting arm around or supporting
each other, or seeing someone off. If wee see a woman carrying empty pan, her
fingers forming a fist hitting empty air, they don’t push but inhaling while
asking us to fulfill our promises. Sometimes we’d meet a figure of
slim-pregnant woman slightly wobbly or the imago
pietatis from a woman caring for a board-thin corpse on her lap in ”Pieta”
(2002). That is how Dolorosa show burdens impossible to be shared, one must
take it alone when the time comes. Through the emptiness and such nothingness,
we’d strangely feel vibration of strength not only in physical sense but a more
universal call of humanity.
If Dolo’s group sculptures bear a row of figures. It
resembles the human chain giving up their flat bodies as the boundary of
existence or the end itself. As if a breakthrough would end in vain or come
across nothingness. Some of her sculpture were already displayed at her solo
exhibition at National Gallery Jakarta (2001) leave us an impression of the
theme and the articulation: women with distorted slender figures, a hair bun
behind their heads, in a dramatic solo act or standing by each other, giving
each other strength through holding handa where the secret of their pledge
lies.
With similar composition, a group of seven sculptures (a
number she finda critical) no longer stand but bending their legs stretching
something. A scene in a group sculpture like these certainly would break
hearts: the six drowning in grievance facing the one, a corpse laying and
spreading equally in each lap, as if they still have the strenghth to cry out
their sorrow and lamentation –not only name- but also the spirit of the dead.
That is “The Grief” (2000), the one that will certainly remember by many.
Certainly with these kinds of works Dolorosa does not make a
portrait of a hero that remains indefinitely as a monument of our frozen
collective memory. Who would recognize a pregnant woman’s figure in her
sculpture, the laying dead body within the embrace of mothers, or the thin body
of a woman soaring like people are familiar with i.e. the face and figure of
the sculpture of General Sudirman in his thick coat? Dolorosa’s “heroes” seems
to have been born out of their own habitat, it is enough if their neighbors or
community members cry for them. People gathering in unity, contemplating the
milestones of their lives in such a borderline situation would definitely carve
each other’s face in their memories, without asking for name and caring about
where one comes from. Dolorosa’s sculpture’s face even look almost identical:
almost flat nose, square canyon in each cheek, a wide and heavy hollow in the
eyes followed by shallow twirl giving the impression of aching or lamenting.
If the women presented by Dolorosa as dancers or musician,
the scenes would look like a ritual as opposed to a physical discipline. The
meaning or the celebration, the joy is more essential than the dance itself. It
seems as though the dance relaxes the hands that were holding each other in
tension, perhaps a part of a procession to see off or meeting the spirit of the
dead while realizing the presence of body in an instant aesthetical moment. At
least that’s the impression we get from “Dance of Solitude” (2003), “Dancer”
(2003) and “Rebana Dancer” (2003) in this exhibition.
The form presented by Dolorosa are not smooth: always
stretched by a force from within, strained or fully stretched from a center of
pressure. Through the existence of texture she adds an impression: there, on
several points the stretches spin or mutually drawing, imagining curves,
wrinkles where forces from the outside and the inside meet. Textures also give
the impression of what might be uncertain inside the covering skin or the
waving cloth.
The texture seem to help confirming the traits and characters
of Dolorosa’s sculpture. Smooth faces, as usually appears in a portrait of a
young woman or beloved mother hung on house walls are far from Dolorosa’s
imagination upon women. The face of her sculptures are the tired and dirty
mothers in villages, vendors in a marketplace, working women that has dragged
all their lives. Continuing the tendency, the sculpture of displaced people or
urban poor that seems thrown to remote corners of our eyes in daily life is the
new theme for her works, like “Leaving Home” (2003) and “Will Find My Way”
(2003).
We have touched upon the tendency of similiarities between
the face of the women figures in Dolorosa Sinaga’s sculptures. Is the
similiarity merely a medium of an ethical order or a physical discipline?
That is how a social group can be presented through its anthropological
aspect. This side is considered unconnected with typical characteristics of a
physiognomy. What makes the face look similar is not the same gloominess or
dirt. The matrix of the faces once again depicted –for example through
representation of an art work- not through an ethical order (that can consist
of a community of intentions), but by physical discipline through factors of
identity or blood and food. An anthropological identity will form a face after
a long sedimentation process, accumulating all characteristics from the
particularity of social uniqueness in a class (the age, size, morphology,
wrinkles and its muscles).1)
We’ll tend to say that the group of similar faces –also other
similar features in every anatomical tendency of the works- in Dolorosa’s
sculptures is the presence of a matrix that consists of a community of intended
meant by the artist. It is an impulse more abstract and intended to overcome
its anthropological identity but not completely disregarding it.
In Dolorosa’s world or women “village” only poets or holy man
is allowed to be present. Both does not feel realistic: we know that the poet
or the holy man are in a state of infinite mysterious forced disappearance or
solitary exile. In her exhibition this time we recognize the figures as the
poet who fought against the regime with poetry as his arms, Wiji Thukul (“Satau
Kata Saja: Lawan” / Only One World: Resist” (2003)). Or the figure of Dalai
Lama to remind us its presence in Dolorosa’s first solo exhibition (2001).
Hence we are now approaching Dolorosa Sinaga’s tendency: in her
sculpture, women look more realistic preaching the voice of the world of their
own community. The sympathy and women’s voice seem to have no other way than
represented from and by themselves. With this we might be able to dig into more
particular meanings in Dolorosa’s sculptures of women.
***
The social experience presented in Dolorosa’s sculptures is
the social experience where women scratch their pain, bearing solitude and move
under several pressures. In these narrow and dark alleys, their persistence and
voice will continue to exist.
Who can represent the figure of silenced women’s voices, with
half of her body stays inside a wall (“Fear No Power”, 2003)? We don’t know
about what she says and what she will say? But isn’t the woman figure crossing
its arms tightly as a brief symbol that she still wants to tell us something?
Is this an effect one has to bear out of loudness, from a step of “avante”
without any guarantee of its success? (Pay attention to “Avante!” (2003). Or
can we say otherwise?
Also note Dolorosa’s criticsm towards women in ‘The “Drama”
Wanita’ (2002) and “Namboru…Namboru” (2003). Five slender women in fine and
neat clothes with false gestures lining side by side. Is this sculpture’s
“drama” similar to those conveyed by the displaced people or the silenced
woman? Why would a meaningful world like “dharma” slips into “drama” in this
sculpture?
The paralleling criticsm is used once again against the
tendency of uniformity –hence we can not feel unique subjectivity and the
bursting emotion of each figure- presented by Dolorosa through
“Namboru…Namboru” (2003). Big earrings looking as if they are going to pop out
their place and the bags dangling from every arm smoothen the figure of
“namboru” (auntie).
In these days, works made by women is considered to bring a
difference. The difference is not unified and merely means “to be different
from…”. Every attempt to fill in the phrase is believed to develop into a norm
rejecting the plurality of difference itself.
Representative politics such this one does is not referring
to women’s essentially. Paradox will emerege from within themselves the
feminine (as an opposite of the masculine ) is more apposition of language
(linguistic) an or psychological that is considered as something that will
interpret a philosophical possibility about change, difference and excesses.
The meaning of women’s presence –according to feminist perspective- will mark
the place of differences in a hierarchy in which the dominant meanings of the
masculine. Women is the “other”, “beyond” in a system that cannot be defined.2)
By believing that an artistic practice can be a kind of
semiotic interruption, a renewal, or even a revolution to awaken the negativity
of the feminines to create new possibilities in meaning, in arts we’ll always
find “the fine line between functionality of art and anesthetization of
politics”.4)
Is the perspective that seeks a position always in paradoxes
–it is not essential- can be used to see Dolorosa’s sculptures? The search for
an essence can mean a search of “a sharp interpretation of women’s identity and
their collectivity that continues to be deconstructed by none other than women
themselves. Yet the journey among differences is “a more painful
acknowledgement fragmenting and tearing women’s collectivity apart, and also
the acknowledgement about structural condition on the meaning of “women”. 5)
Dolorosa Sinaga did not make her sculpture frontally
confronting us. She led her sculptures heads to the side, as if rejected by the
breeze, or avoiding eye contact. Or incredible fatigue caused by the invisible
burden that will be carried on their shoulders. If she chose to make something
that stands straight, it is as if we see bodies grow and swinging with the two
legs stepping on the earth.
Isn’t there two “paths” implicitly stated in her works? The
path of suffering or via Dolorosa that “has to be taken” by women to reach
their own aspiration in a hegemony and the pressure of meanings. But we can
follow the path through massage techniques recording the steaming artist’s
emotion via Dolorosa Sinaga. ***
Hendro Wiyanto
Exhibition Curator
1.
From
Roland Barthers, “The World as Object”, in “Calligram, Essays in New Art
History from France” (edited by Norman Bryson, Cambridge University Press,
1988)
2.
This
brief des
Katalog Pameran |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
doc.Nadi Gallery |
Karya yang dipamerkan :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar