Senin, 19 Agustus 2024

Pameran Patung dan Aktivisme Dolorosa Sinaga & Budi Santoso di Galeri Nasional Indonesia

Patung dan Aktivisme                                       Sculpture and Activism
Dolorosa Sinaga & Budi Santoso                    Dolorosa Sinaga & Budi Santoso
di Galeri Nasional Indonesia                            National Gallery of Indonesia
19 Juli - 19 Agustus 2024                                 19 July - 19 August 2024


Catatan Kuratorial | Curatorial Note

Alexander Supartono

Patung dan Aktivisme Dolorosa Sinaga & Budi Santoso adalah pameran dua pematung dari dua generasi dan dua latar tradisi kultural yang berbeda. 24 tahun lalu, Dolo membuka pintu studio Somalaingnya untuk Budi, tidak hanya untuk belajar dengan bekerja bersama, tapi juga untuk bersama menyemai dan merawat gagasan-gagasan progresif dan demokratis lewat kerja-kerja artistik dan aktivisme mereka. “Kerja bersama” adalah landasan dinamika interaksi Dolo dan Budi yang berawal dari hubungan guru dan murid. Dengan landasan ini, kalaupun kita mau membandingkan style, karakter, pattern, dan genre, perbandingan itu akan hadir tidak hanya sebagai dialog, tapi juga sebagai sebuah aliansi perjuangan nilai-nilai kemanusian, keberadaban dan keadaban, serta keyakinan akan peran seni dan pekerja seni dalam perubahan sosial, yang mereka hayati sebagai aktivis. Membandingkan karya mereka dengan kerangka “kerja bersama” ini, juga akan mengajak kita menelusuri kekayaan proses adopsi dan adaptasi timbal balik antara Dolo dan Budi, melalui prosedur imitasi, replikasi dan mutasi gagasan kreatif, ketrampilan artistik dan keberpihakan sosial yang sudah berlangsung hampir seperempat abad dan akan berlanjut sampai akhir hayat mereka. Puluhan patung yang kita saksikan di Galeri Nasional ini, adalah hasil dari proses adopsi dan adaptasi itu. Karenanya, mengalami patung-patung ini, seperti mendengarkan dialog antara mereka dan perbincangan antara Dolo dan Budi. Perbincangan yang mengundang kita berpartisipasi di dalamnya. Kerja bersama antara Dolo dan Budi adalah juga kerja bersama kita semua yang meyakini nilai-nilai progresif dan demokratis yang bersama kita perjuangkan.

Sculpture and Activism of Dolorosa Sinaga & Budi Santoso is an exhibition of two sculptors, Dolorosa Sinaga and Budi Santoso who come from two different generations and cultural traditions. 24 years ago, Dolo opened the door of her Somalaing sculpture studio for Budi to learn through working together with her, but also to together they sow and nurture progressive and democratic ideas through their artistic works and activism. “Working together” is the foundation of their interaction that started as a tutor-tutee arrangement. With this framework of “working together”, a comparison of their style, characteristic, pattern, and genre, would arrive not only as a dialogue, but also as an alliance of struggle for the humanity values, civilisation and civility, and the belief that arts and art workers have a role to play in social changes. The framework will take us into the depth and the richness of 24 years process of adoption and adaptation between Dolo and Budi through procedures of imitation, replication, and mutation in terms of creative ideas, artistic skills and socio-political inclination that will continue as long as they are alive. The exhibits in this National Gallery are the result of that long proses of adoption and adaptation. In this light, encountering with sculptures on display, we are listening to the dialogue between them, a conversation between Dolo and Budi in which all of us is invited to take part. The “working together” between Dolo and Budi is also the work of all of us who is believe in progressive and democratic values need to fight for, together!


Poster Pameran
e-katalog Pameran

Display salah satu karya Dolorosa Sinaga
"Monumen Pembantaian Masal Indonesia 1965 - 1966"

Somalaing Art Studio dibantu oleh Serrum Art Handling mendisplay pojok beranda pameran dengan arahan Alex Supartono (kurator)

Konfrensi Pers dengan berkeliling ruangan pamer dipandu oleh Alex Supartono

Suasana Galeri Nasional Indonesia menjelang pembukaan pameran

Pameran di buka oleh Direktur Jendral Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Bapak Hilmar Farid.

Dolorosa Sinaga, Budi Santoso bersama dengan Alex Supartono

Suasana malam pembukaan pameran








Beberapa Karya Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso

Dolorosa Sinaga

"Monumen Genosida 1965 / Monument of 1965 Genocide"

Kasus pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia dan simpatisannya tahun 1965-66 sampai hari ini belum mampu diselesaikan negara. Buku ini adalah monumen bagi mereka yang dibungkam tanpa peradilan dan disiksa dengan kejam. Melalui seni saya menggugat negara agar menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yg dibungkam  selama 59 tahun.  Satu persatu para penyintas pergi membawa harapan ke kuburnya, dan yg masih  hidup, tua renta,  tanpa henti terus menjuangkan keadilan bagi hidupnya dan keluarganya.

The genocide of members and supposed sympathizers of the Indonesian Communist Party in 1965-66 has never been resolved. This book is a monument to those who were silenced without trial and brutally tortured. Through art, I call upon the state to address this 59-year-old case of human rights violations. Many survivors have passed away, taking their hopes to their graves. The remaining survivors, though old and fragile, continue their fight for justice for themselves and their families.


Dolorosa Sinaga 

"Monumen Penghilangan Paksa / Forced Disappearance"

Di paruh kedua tahun 1990an, rejim militeristik Orde Baru, yang menggulingkan dan membungkam Sukarno, menculik dan menyiksa aktivis-aktivis pro-demokrasi.  Sampai hari ini, banyak anak-anak kami yang tidak kembali. Kami hanya bisa memeluk potretnya.

In the second half of the 1990s, the military regime of the New Order, which had overthrown and silenced our first president, Sukarno, in an army coup, kidnapped and tortured pro-democracy activists. To this day, many of our children have never returned. We are left with only their portraits to hold.


Dolorosa Sinaga 

"Monumen Tragedi Semanggi 1998-1999 / Monument of Semanggi Tragedy, 1998-1999"

Setelah lengsernya Suharto tahun 1998 aksi massa dan mahasiswa menentang kembalinya rejim militeristik Orde Baru marak sampai tahun 1999. Tentara dengan bringas menyerang mahasiswa sampai ke kampus, korban penembakan mahasiswa pun terjadi. Monumen yg ada di hadapan kawan-kawan ini, adalah suatu gugatan untuk keadilan agar negara menyelesaikan kasus pembunuhan mahasiswa yang melawan kekuasaan represif negara.

Following Suharto's forced resignation in 1998, student and mass protests erupted in the streets of Indonesia to resist the return of the militaristic New Order regime. Soldiers brutally crushed these protests, chasing protesters onto campuses. Some students were killed. The monument in front of you, my friends, is a demand for justice, urging the state to address the murder of those students who fought against the repressive power of the government.


Budi Santoso

"Historical Moment"

Seorang ibu yang menjadikan membaca buku cerita sebelum tidur untuk anaknya, dia sedang membangun landasan pendidikan. Melalui buku dan proses-proses literasi lainnya, anak dibiasakan bertemu dengan ide-ide kehidupan yang akan berperan sebagai kunci untuk membuka jendela dunia dan menerangi jalan hidupnya.

A mother who makes reading a book for her kids before bed a ritual is building a foundation for education. Books and other literacy practices introduce ideas and knowledge to children, serving as a key to the window of the world and illuminating their life path.


Budi Santoso

"Berdialog dengan Tuhan / A Conversation with God"

Ketika saya sedang menjelaskan perang yang terjadi antara Israel dan Palestina, anak saya Ning yang beru berumur 6 tahun, serius memandang langit. Setengah berdoa sambil berdialog dengan Tuhan, setengah menggugat: mengapa Tuhan yang penuh cinta kasih, tetapi kok masih ada perang?

 When I tried to explain the Israel-Palestine war to my 6-year-old daughter, she paused and stared seriously at the sky. Half praying and half conversing with God, she protested: why does a God who is full of love let war happen?


Karya lain yang di pamerkan :


Berita cetak :






Link berita terkait :



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar